Perdagangan Berjangka dari segi Agama
1. PENDAHULUAN
"Islamic
finance is now on the verge of either major transformation, or period
of frustation and probable decline." (Vogel & Hayes)
Itulah
dua ungkapan yang merefleksikan bahwa fiqh acap kali berjalan tertatih
jauh di belakang pesatnya dinamika kehidupan manusia. Imbasnya adalah
umat sering merasakan kebingungan ketika menemukan sesuatu yang baru
namun belum mendapatkan konfirmasinya dari sisi agama. Pada satu sisi,
hal ini merupakan berita positif karena umat masih merasa "cemas"
jika apa yang dilakukan tidak mendapat legitimasi dari agama. Namun
pada sisi yang lain, kebingungan mereka merupakan cerminan bahwa
perkembangan fiqh selalu dalam posisi wait and see; bukan sebagai
kekuatan aksioner namun hanya sebatas reaksioner.Satu di antara sekian
hal yang tergolong "baru" adalah perdagangan berjangka komoditi.
Transaksi jenis ini menjadi menarik untuk dibahas di kalangan umat Islam
setidaknya karena tiga hal. Pertama; transaksi pedagangan berjangka
komoditas merupakan jenis transaksi yang banyak dibutuhkan dan dilakukan
oleh sebagian kalangan umat Islam. Kedua; transaksi jenis ini belum
mendapatkan legitimasi agama, baik karena belum pernah ada preseden yang
mendahuluinya dan tidak ada dalil naqli yang secara spesifik membahas
perdagangan berjangka komoditi. Ketiga; pembahasan mengenai "halal-haram"-nya
transaksi ini merepresentasikan sebuah perdebatan panjang a la fiqh
yang senantiasa mengundang perhatian di banyak kalangan.Uraian dalam
makalah ini akan turut meramaikan dan menyemarakkan pembahasan mengenai
legalitas perdagangan berjangka komoditi dari perspektif ekonomi Islam.
Pembahasan tentang tema ini akan dipecah menjadi empat sub-bahasan,
yaitu pengertian perdagangan berjangka komoditi; jenis-jenis perdagangan
berjangka komoditas; sejarang perdagangan berjangka komoditi; dan
terakhir adalah perdagangan berjangka komoditi dalam perspektif Ekonomi
Islam.
2. PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Perdagangan Berjangka
Perdagangan
kontrak berjangka komoditi yang selanjutnya disebut perdagangan
berjangka komoditi (PBK) atau commodity futures trading (CFT) adalah
suatu perjanjian untuk membeli atau menjual suatu komoditi atau asset
yang dijadikan sebagai subyek kontrak dengan spesifikasi yang jelas
berkaitan dengan : jumlah, jenis, mutu tertentu untuk penyerahan atau
penyelesaian pada waktu tertentu di kemudian hari dengan harga yang
telah disepakati di suatu bursa berjangka.Misalnya, seorang petani cabai
pada awal musim tanam menginginkan agar harga cabainya tidak jatuh pada
musim panen nanti. Dia membutuhkan pihak yang bersedia untuk membeli
cabainya pada musim panen dengan harga tertentu. Pada sisi yang lain,
produsen saos sambal "Indorasa" memerlukan jaminan ketersediaan
pasokan cabai sebagai bahan dasar pembuat saos sambal. Produsen
memerlukan cabai terus-menerus sehingga proses produksi tidak terganggu;
sekaligus memerlukan stabilitas harga cabai sehingga proyeksi cash-flow
dapat disusun dengan baik. Petani di satu pihak, dengan produsen saos
sambal "Indorasa" pada pihak yang lain, saling bertemu untuk melakukan
perjanjian jual-beli cabai di mana penyerahan cabai akan dilakukan pada
musim panen dengan harga yang telah disepakati di awal transaksi.PBK
merupakan transaksi yang dapat digunakan oleh dunia usaha sebagai media
untuk melakukan lindung nilai (hedging) yang sangat efektif untuk untuk
menunjang kemantapan strategi manajemen perusahaan dari pengaruh
timbulnya resiko yang disebabkan oleh fluktuasi atau volatilitas harga.
Selain itu, perdagangan jenis ini juga dapat dimanfaatkan sebagai
investasi alternatif bagi para pihak yang berusaha menanamkan modalnya
di bursa berjangka.[1] Dengan demikian PBK memainkan dua fungsi, yaitu
fungsi lindung nilai dan fungsi investasi.Sebenarnya ada satu fungsi
lagi yang melekat pada transaksi PBK, yaitu sebagi tempat terbentuknya
harga sebuah komoditi yang transparan. Harga yang terbentuk tersebut
selanjutnya menjadi harga referensi yang menjadi acuan bagi para pelaku
pasar. Petani misalnya, ia dapat menyusun estimasi kalkulasi proses
pertaniaannya terkait dengan harga suatu komoditi di lantai bursa.[2]
Namun demikian, fungsi yang ketiga agaknya perlu dikritisi, karena tidak
selamanya harga yang terbentuk di lantai bursa berjangka equivalen
dengan sektor riil. Atau dengan kata lain, harga di lantai bursa tidak
mencerminkan tingkat supply dan demand sebenarnya di pasar spot. PBK
meskipun banyak yang ditransaksikan melalui lantai bursa, terutama untuk
jenis Futures dan Options, namun PBK tidaklah sama dengan bursa efek.
Setidaknya ada tiga perbedaan antara pasar komiditi dan pasar modal,
yaitu: pertama; Investor pada pasar berjangka tidak perlu membayar
seluruh nilai kontrak yang dibeli atau dijualnya. Dia cukup membayar
performance bond (good faith deposit) yang dibukanya di pasar berjangka.
Untuk setiap lot kontrak terbuka yang dimiliki seorang investor sebagai
modal investasi, cukup menyediakan dana margin yang ditetapkan oleh
pialangnya. Sedangkan apabila seorang ingin berinvestasi di bursa efek,
ia diharuskan membayar seluruh harga saham yang dibelinya. Kedua; Marked
to market dalam PBK dilakukan setiap hari, sedangkan pada bursa efek,
jika terjadi perubahan atas harga efek tertentu mencapai 30%, maka efek
tersebut akan dihentikan sementara dan emiten yang bersangkutan diminta
untuk menjelaskan apakah ada hal-hal yang perlu disampaikan kepada
publik berkaitan dengan usahanya, sebelum perdagangan atas efek tersebut
dilanjutkan kembali. Ketiga; Perbedaan lain antara bursa efek dan bursa
berjangka yaitu maturity life atas produk yang diperdagangkan. Pada
bursa berjangka, ada batasan tertentu atas kontrak yang diperdagangkan.
Sedangkan pada bursa efek maturity life atas saham yang
diperjual-belikan adalah tidak terbatas (infinite life).
2.2. Sejarah Perdagangan Berjangka Komoditi
Pada
tahun 1840-an, para petani biji-bijian sejenis palawija, gandum, jagung
dan kedelai di Chicago Amerika, mengalami kesulitan. Di saat musim
tanam, permintaan terhadap komoditi yang mereka tanam sangat tinggi,
namun pada musim panen harga hasil panen mereka merosot tajam. Keadaan
ini mengakibatkan pada kerugian yang mereka alami. Selain karena
melimpahnya penawaran komoditi sementara permintaan tetap, permasalahan
tersebut juga dipicu oleh minimnya media penyimpanan (storage), jalur
transportasi dan distribusi yang lamban, dan mekanisme penetapan harga
yang sangat fluktuatif. Pada sisi yang lain, produsen roti yang
menggunakan bahan dasar biji-bijian juga membutuhkan ketersediaan bahan
baku secara kontinyu dan harga yang stabil. Berawal dari kondisi ini
mereka sepakat untuk meminimalisir kerugian dan resiko pertanian mereka.
Akhirnya pada tahun 1848, berdirilah Chicago Board of Trade (CBOT) yang
bertujuan untuk menukar hasil panen petani di pasar spot antara penjual
dan pembeli. Lembaga ini kemudian melahirkan sebuah pemikiran untuk
mengadakan perjanjian jual-beli di masa yang akan datang, yang kemudian
disebut dengan Forward Contract. Tanggal 13 Maret 1851 merupakan awal
kontrak Forward pertama, ditandai dengan kontrak perdagangan 3000
bushels jagung (1 bushel = 36 liter), untuk pengiriman di bulan
Juni.[3]Akan tetapi kemudian dirasakan bahwa Forward mengandung beberapa
kelemahan. Kontrak ini tidak mensyaratkan kualitas dan waktu
pengiriman. Oleh karenanya CBOT kemudian memformalkan standar kontrak
yang kemudian diistilahkan dengan Futures Contract. Selanjutnya Futures
Contract tidak hanya sebatas pada hasil pertanian semata, namun juga
merambah pada hasil tambang, peternakan dan perkebunan.[4] Untuk saat
sekarang, Futures tidak hanya sebatas perdagangan komoditi, namun juga
untuk jual-beli saham, suku bunga dan valuta.Di Indonesia, PBK baru
mulai mendapatkan perhatian oleh pemerintah pada awal tahun 1990.
Perintisan pendirian bursa berjangka dilakukan sejak tahun 1991 sampai
dengan tahun 1997. Akhirnya Pemerintah RI memberikan payung hukum
berdirinya bursa berjangka, dengan keluarnya Undang-undang No. 32 tahun
1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Meskipun lahir pada saat
yang kurang tepat (tahun 1997 s.d 1998 adalah awal dan puncak krisis
moneter yang diikuti krisis multidimensi), namun pada tahun 1999 embrio
bursa berjangka telah tersusun. Setelah surat perizinan pendirian bursa
berjangka diserahkan kepada BAPPEBTI, akhirnya pada 21 November 2000
Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) telah mendapatkan izin dari BAPPEBTI. BBJ
resmi berdiri sebagai bursa berjangka pertama di Indonesia yang
melakukan perdagangan pertamanya pada 15 Desember 2000. Pada waktu itu
komoditi yang diperdagangkan adalah kopi Robusta dan Olein.Komoditi yang
dapat dijadikan sebagai subyek kontrak berjangka, berdasarkan UU No. 32
tahun 1997 harus ditetapkan oleh Keputusan Presiden, kecuali untuk
kegiatan penyaluran amanat luar negeri. Berdasarkan 3 Keppres yang telah
diterbitkan (No. 12 Tahun 1999, No. 73 tahun 2000, dan No. 119 Tahun
2001, telah ditetapkan 22 komoditi, yaitu : kopi, minyak kelapa sawit,
plywood, karet, kakao, lada, gula pasir, kacang tanah, kedelai, cengkeh,
udang, ikan, bahan bakar minyak, gas alam, tenaga listrik, batubara,
timah, pulp & paper, benang, semen, dan pupuk. Tentu saja, cakupan
komoditi masih dapat diperluas bergantung pada kajian dan memang
dibutuhkan oleh dunia usaha, karena bursa didirikan untuk kepentingan
dunia usaha
2.3. Jenis Perdagangan Berjangka
Dalam
perkembangannya sekarang ini, jenis Futures merupakan jenis PBK yang
paling banyak dilakukan di berbagai negara. Secara umum, ada tiga jenis
transaksi untuk PBK, yaitu Forwards, Futures dan Options
2.3.1. Kontrak Berjangka Forward
Forwards
adalah suatu perjanjian untuk membeli atau menjual sebuah aset/komoditi
dengan harga tertentu untuk penyerahan di masa depan. Spesifikasi dari
kontrak Forwards ditentukan sendiri oleh pihak-pihak yang bertransaksi
dan tidak diperdagangkan di bursa yang terorganisasi. Pihak yang
menyetujui untuk membeli aset/komoditi, disebut sebagai pemegang posisi
beli (long position). Sedangkan pihak kedua yang setuju untuk menjual
aset/komoditi tersebut adalah sebagai pemegang posisi jual (short
position).[5] Kontrak perdagangan ini tidak dilakukan di lantai bursa,
oleh karenanya para pihak yang membuat kontrak tidak terikat dengan
berbagai aturan yang berlaku di lantai bursa. Pihak-pihak yang
bertransaksi bebas untuk menentukan maturity date-nya, menentukan uang
muka pembayaran, termasuk bebas untuk menentukan jenis komoditi apa yang
ditransaksikan. Mereka juga bebas untuk menentukan penilaian resiko
kredit, resiko pasar serta tambahan dokumen hukum yang mungkin
diperlukan.Harga yang disepakati antara penjual dan pembeli disebut
dengan delivery price atau harga penyerahan. Delivery price pada saat
kontrak dilakukan, besarnya sama dengan forward price dari aset yang
diperjualbelikan. Delivery price tidak akan mengalami perubahan sampai
dengan kontrak jatuh tempo, lain halnya dengan forward price yang akan
mengalami fluktuasi setiap saat. Jika forward price naik, maka pemegang
posisi beli (long position) akan meningkat, sedangkan nilai bagi
pemegang posisi jual (short position) akan turun, dan demikian pula
sebaliknya. Misalnya, Abinaya menjual 1 ton mangga kepada Y untuk
penyerahan 3 bulan ke depan dengan harga (delivery price) Rp
5.000.000,-. Jika pada saat penyerahan nanti harga mangga di pasar spot
(forward price) sebesar Rp 5.500.000,- maka pemegang posisi beli akan
memperoleh nilai positif dari selisih antara delivery price dengan
forward price. Namun hal ini menjadi sebuah kerugian bagi pemegang
posisi jual, karena komoditi yang dimilikinya dihargai lebih rendah dari
harga yang terbentuk di pasar spot.
2.3.2. Kontrak Berjangka Futures
Futures
adalah kontrak antara dua pihak untuk membeli (long position) atau
menjual (short position) suatu komoditi dengan harga tertentu untuk
penyerahan di masa depan melalui mekanisme bursa yang terorganisasi.
Yang membedakan antara Futures dan Forwards adalah jika Futures
dilaksanakan melalui bursa di pasar berjangka komoditi, sedangkan
Forwards tidak. Untuk dapat berdagang di lantai bursa, pedagang harus
menjadi anggota bursa atau bisa melalui pialang (broker) yang menjadi
anggota bursa. Layak tidaknya seseorang atau suatu badan hukum menjadi
anggota bursa akan ditentukan berdasarkan kredibilitas usaha, karakter
dan integritas calon anggota.[6]Pihak penjual maupun pembeli diwajibkan
untuk mendepositkan sejumlah uang performance bond (good faith deposit)
sebagai jaminan, baik dalam bentuk uang cash, sertifikat deposito maupun
surat berharga lainnya. Cara mendepositkan dilakukan dengan cara
membuka rekening pada broker yang telah mempunyai lisensi untuk
melakukan Futures di lantai bursa. Jumlah deposit yang mereka bayarkan
relatif pada posisi (short atau long), volatilitas komoditi yang
ditransaksikan dan tingkat harga komoditi tersebut.[7] Jaminan yang
didepositkan tersebut digunakan untuk membayar dua jenis margin, yaitu
original margin dan maintenance margin. Initial margin adalah margin
yang harus dibayar oleh pihak penjual atau pembeli sebelum
dilaksanakannya kontrak. Jumlah margin ini akan berbeda-beda antara satu
bursa dengan bursa yang lain. Sedangkan maintenance margin atau minimum
margin adalah hasil dari mekanisme mark to market. Jika besaran ekuitas
penjual/pembeli di bawah jumlah minimum sebagai imbas dari
naik-turunnya harga komoditi, maka penjual/pembeli harus menyetorkan
sejumlah uang agar jumlah depositnya mencapai batas minimum.[8]Contoh
sederhana dari kontrak Futures adalah sebagai berikut:Zahir, produsen
biji kopi mengharapkan dapat menjual yang akan dihasilkannya dalam waktu
3 bulan ke depan (misal bulan Maret). Ia mengkalkulasi bahwa untuk
memperoleh laba normal, dia harus menjual biji kopi yang dihasilkannya
pada harga US$ 110/ton. Harga di pasar berjangka untuk penyerahan 3
bulan mendaang sebesar US$ 150/ton. Untuk itu melalui perusahaan Pialang
Berjangka ABC, Zahir memerintahkan untuk menjual sejumlah kontrak untuk
penyerahan bulan Mei pada harga US$ 150/ton. Pada akhir April ketika si
Produsen siap menjual biji kopinya, ternyata harga komoditi tersebut di
pasar fisik turun menjadi US$ 100/ton, sementara untuk penyerahan di
pasar berjangka juga turun menjadi US$ 130/ton. Dalam keadaan demikian,
produsen menjual gulanya di pasar lokal pada harga US$ 100/ton, dan pada
saat yang sama menginstruksikan melalui Pialang ABC untuk membeli
sejumlah kontrak di pasar berjangka pada harga US$ 130/ton. Oleh karena
itu perhitungan produsen biji kopi sebagai berikut:
dalam pasar berjangka beli US$ 130/ton dan jual US$ 150/ton, berarti untung sebesar US$ 20/ton;
dalam
pasar fisik harga yang diharapkan US$ 110/ton, dan harga jual yang
terjadi US$ 100/ton, berarti rugi sebesar US$ 10/ton (tanpa kegiatan di
pasar berjangka) Namun apabila produsen melakukan kegiatan perdagangan
di pasar berjangka, maka produsen justru mendapatkan keuntungan tambahan
sebesar US$ 10/ton (selisih keuntungan di pasar berjangka dikurangi
kerugian di pasar fisik).Sampai di sini dapat dipilahkan beberapa segi
perbedaan antara Forwards dan Futures.
Untuk lebih jelasnya, tabel di bawah ini akan menyimpulkan beberapa perbedaan antara dua jenis kontrak di atas:
|
Futures
|
Forwards
|
Spesifikasi
|
Standar
|
Kesepakatan
|
Organisasi
|
Sentralisasi
|
Desentralisasi
|
Regulasi
|
Diawasi oleh sebuah badan
|
Self-regulated
|
Resiko default
|
Uniform default risk of clearing house
|
Direct exposure to counter-party risk
|
Pengguna
|
Pedagang / spekulator
|
Orientasi perdagangan
|
Tingkat penyerahan aset
|
Rendah
|
Tinggi
|
Fluktusi harga
|
Dibatasi (daily limit)
|
Tidak terbatas
|
Margin
|
Initial dan Maintenance
|
Tidak eksplisit
|
Arus kas
|
Daily settlement
|
Lumpsum
|
Pasar sekunder
|
Likuid
|
Kurang likuid
|
2.3.3. Kontrak Berjangka Option
Options
adalah kontrak yang memberikan hak (bukan kewajiban) kepada pemegang
kontrak untuk membeli (call options) atau menjual (put options) suatu
komoditi tertentu dengan harga tertentu dan dalam jangka waktu
tertentu.[9] Kontrak jenis ini tidak mengharuskan seorang pemegang hak
untuk melakukan exercise pada posisi yang dipegangnya jika kontrak telah
jatuh tempo. Contoh transaksinya adalah sebagai berikut:Anda membeli
call options komoditas cengkeh seharga US$ 200/ton untuk jatuh tempo
tiga bulan dari sekarang. Maka pada tiga bulan ke depan, Anda berhak
untuk membeli cengkeh dengan harga tersebut dari penjual opsi. Jika pada
tiga bulan ke depan harga cengkeh ternyata US$210/ton, maka Anda boleh
menggunakan hak Anda (melakukan exercise) dengan harga US$200/ton.
Dengan demikian Anda memperoleh untung sebesar US$10/ton. Namun jika
ternyata harga tersebut turun, semisal US$ 180/ton, maka Anda tidak
melakukan exercise dan tidak perlu menggunakan kontrak Anda. Kerugian
yang Anda tanggung hanyalah sebesar harga yang Anda keluarkan untuk
membeli call options tersebut, yang lazim disebut dengan premi dari
opsi.Ada dua jenis options, yaitu European Options dan American Options.
Pemilik options gaya Eropa dapat menggunakan haknya apabila options
telah jatuh tempo atau expiration date. Sedangkan options gaya Amerika
dapat digunakan sebelum dan saat options telah jatuh tempo.
2.4. Beberapa perspektif PBK dalam ekonomi Islam
Dalam
kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan hukum
yang diperkenalkan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa
hukum dapat berubah karena beberapa variabel perubahnya, yakni: waktu,
tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini diturunkan
dari paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, yang menyatakan
bahwa al-haqiqah fi al-a'yan la
fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan
empirik; bukan dalam alam pemikiran atau alam idea. Paradigma ini
diturunkan dari prinsip hukum Islam tentang keadilan yang dalam Al Quran
digunakan istilah al-mizan, a-qisth, al-wasth, dan al-adl. PBK,
termasuk didalamnya Futures dan Options, adalah benar-benar sebuah
fenomena baru yang tidak mempunyai ketersambungan dengan hukum dagang
dalam Islam.[10] Dalam penerapannya, secara khusus masalah PBK dapat
dimasukkan ke dalam bidang kajian fiqh al-siyasah maliyyah, yakni
politik hukum kebendaan. Dengan kata lain, PBK termasuk kajian hukum
Islam dalam pengertian bagaimana hukum Islam diterapkan dalam masalah
kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi
dalam era globalisasi dan perdagangan bebas. [11]at-Tufi, salah satu
cendikiawan muslim mempunyai tawaran ide yang agak liberal untuk ukuran
sezamannya dalam upaya untuk "menghidupkan" mu'amalat sehingga mampu
memberikan solusi cerdas untuk problem kekinian. Melalui konsep
maslahah, ia menyatakan bahwa akal dalam wilayah mu'amalat mempunyai
kekuatan untuk menentukan antara yang maslahat dan mafsadat. Lebih jauh
lagi ia juga berpendapat bahwa maslahat adalah dalil tersendiri dalam
wilayah mu'amalat, sehingga tidak harus selalu mendapatkan konfirmasi
nas/dalil.[12]Meskipun penulis mungkin belum masuk lebih jauh untuk
mengamini pendapat at-Tufi, namun konsep maslahah tampaknya akan menjadi
key word yang sangat sentral untuk menilik beberapa sisi Perdagangan
Berjangka Komoditi perspektif Ekonomi Islam.
2.4.1. Obyek PBK
"Janganlah kau menjual sesuatu yang tidak ada padamu."
Demikianlah hadis Rasulullah SAW yang banyak dikutip ketika membahas
tentang Ba'i salam dan Istishna'. Ketika praktek PBK sudah mulai banyak
digunakan oleh masyarakat dan membutuhkan sandaran syar'i-nya,
maka hadis di atas kemudian banyak disinggung. Dalam fiqh mu'amalat,
salah satu di antara syarat obyek akad (mahal al-'aqad) sebagai salah
satu rukun akad adalah bahwa obyek harus ada saat ditransaksikan.
Sebagian ulama memang memandang tidak sah suatu transaksi yang obyeknya
belum ada, namun dengan argumen istihsan sebagian lagi menyatakan bahwa
jenis transaksi tertentu (salam dan istishna') maka transaksi tersebut
dihukumi sah. Pada dua transaksi tersebut keberadaan obyek akad baru
akan ada pada saat transaksi telah jatuh tempo. Pengecualian ini
didasarkan pada pertimbangan istihsan untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia dalam kegiatan mu'amalat.[13] Selain itu obyek akad juga harus
bebas dari unsur gharar/uncertainty. Hal-hal yang dapat menimbulkan
gharar/uncertainty pada obyek akad antara lain dalam hal jenis, sifat,
ukuran (kuantitas), zat, waktu penyerahan obyek, ada-tidaknya obyek dan
dapat-tidaknya dilihat.[14]Terkait dengan ada-tidaknya obyek akad pada
saat transaksi dilakukan, menurut as-Sanhuri setidaknya ada lima
kemungkinan, yaitu:[15]
1. Obyek akad ada secara penuh pada saat transaksi dilaksanakan
2. Obyek akad hanya ada sebagian saja pada saat transaksi
3. Obyek belum ada saat transaksi, namun dipastikan akan ada pada waktu berikutnya
4. Obyek tidak ada atau ada namun tidak penuh, namun tidak dapat dipastikan keberadaannya di waktu berikutnya
5.
Obyek tidak akan pernah ada baik pada saat transaksi maupun di waktu
yang akan datang.Instrumen derivatif, dalam hal ini Futures/Forwards dan
Options, termasuk dalam wilayah questionable dalam Islam seperti yang
dinyatakan oleh Vogel dan Hayes.[16]
Pelarangan
instrumen derivatif umumnya didasarkan pada unsur gharar yang kental
dan melibatkan transaksi sesuatu yang non-exist. Apalagi penyerahan
komoditi secara fisik jarang terjadi, terlebih untuk jenis Futures. Oleh
karenanya, muncul pemikiran jika gharar dapat dihindari dan transfer
kepemilikan dapat terjadi dengan full settlement dan delivery maka
kemungkinan bahwa kontrak ini dibolehkan menjadi terbuka.[17]Lalu
bagaimanakah dengan PBK di mana obyek akad belum ada saat
ditransaksikan? Belum adanya obyek akad pada PBK pada dasarnya tidak
termasuk gharar karena pada transaksi PBK, terlebih pada kontrak
Futures, obyek yang ditransaksikan adalah obyek yang telah
terstandarisasi. Artinya bahwa identitas obyek akad telah ditetapkan
sebelumnya, sehingga obyek-obyek yang tidak masuk dalam kualifikasi
tidak dapat diperjualbelikan dalam PBK. Dengan kata lain unsur jahalah
fi al-'aqdi dapat dihilangkan melalui mekanisme kualifikasi obyek akad
tersebut. Jadi meskipun obyek belum ada, namun penjual telah menyatakan
kesediaan untuk menyediakan/menyerahkan obyek akad pada waktu yang telah
ditentukan, sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati. Kondisi
ini mirip dengan transaksi ba'i salam di mana penjual hanya menyebutkan
spesifikasi barang dan kapan delivery akan diserahkan.Dengan demikian
yang menjadi titik sentral bukanlah ada-tidaknya obyek akad, namun
apakah obyek akad mengandung gharar/uncertainty ataukah tidak. Causa
legis atau illat larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang
melainkan gharar.[18] Dari ketentuan ini maka dapat dikatakan bahwa
ditilik dari obyek akad maka PBK, baik itu untuk Forward, Future dan
Option tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum perikatan dalam
Islam.
2.4.2. Landasan hukum PBK
Ketika membahas PBK, para sarjana muslim sering kali mengaitkannya untuk tidak mengatakan menganalogikan dengan
salah satu jenis jual-beli dalam khazanah fiqh mu'amalat, yaitu ba'i
salam. Dalam jual beli ini, pembeli membayar harga barang pada saat
transaksi dilaksanakan sementara penyerahan barang dilakukan belakangan
sesuai dengan kesepakatan antara penjual dan pembeli. Pada saat kontrak,
penjual menyebutkan spesifikasi barang yang dijual tanpa menghadirkan
barang tersebut di depan pembeli. Sekilas, ba'i salam mempunyai beberapa
kemiripan dengan PBK, sehingga membahas tentang PBK akan selalu
dikaitkan dengan ba'i salam.[19] Namun pertanyaan yang mengemuka adalah,
apakah ba'i salam dapat dijadikan sebagai landasan hukum legalitas PBK
dalam perspektif fiqh mu'amalat? Dapatkah PBK diqiyaskan (dianalogkan)
dengan ba'i salam? Ataukah kita harus membuat formulasi akad yang baru
yang disusun untuk memberikan legalitas PBK?Untuk mengatakan bahwa PBK
adalah sama dengan ba'i salam tentulah tidak dapat diterima di mayoritas
sarjana muslim. Hal ini setidaknya dengan memperhatikan pada
unsur-unsur berikut ini:
1.
Dalam ba'i salam, pembeli membayar lunas harga barang di awal transaksi
kepada pembeli, sehingga pembeli menerima 100% harga barang yang
dijualnya. Sedangkan dalam PBK, khususnya dalam Futures, pembeli hanya
"membayar" initial margin dan maintenance margin sesuai yang ditetapkan
oleh pialang melalui mekanisme lantai bursa. Dalam Futures, pembeli
harus siap menyediakan dana setiap harinya sebagai antisipasi jika nilai
ekuitasnya di bawah batas minimum pada daily settlement. Namun besarnya
dana yang harus ia depositkan tidaklah sebesar harga komoditi yang ia
beli, karena ia cukup menyerahkan 5% s.d 20% saja dari harga komoditi.
2.
Pada ba'i salam, tingkat penyerahan barang yang diperjualbelikan sangat
tinggi. Artinya bahwa ketika jatuh tempo, transaksi diakhiri dengan
penyerahan barang secara fisik dari pihak penjual kepada pembeli. Dalam
PBK, untuk transaksi jenis Forward, tingkat penyerahan barang secara
fisik memang sangat tinggi sebagaimana halnya ba'i salam, akan tetapi
transaksi jenis Future dan Option, tingkat penyerahan barang sangat
rendah. Ini artinya bahwa transaksi jarang di-exercise dengan penyerahan
barang secara fisik.[20] Kondisi ini sangat masuk akal karena
individu-individu yang masuk di lantai bursa pada PBK bukan hanya pure
pedagang dan investor, namun juga para spekulan yang mencoba
menadapatkan keuntungan dari selisih harga jual dan harga beli mereka.
Para spekulan hanya terfokus bagaimana membeli komoditi dengan harga
rendah untuk dapat dijual kembali ketika harga tinggi.[21]Ada satu unsur
lagi yang membedakan antara PBK dan ba'i salam yang selama ini jarang
dibahas oleh para sarjana muslim. Menurut Vogel dan Hayes, ada satu hal
yang "kurang bisa dimengerti" yaitu tentang the
cheapest-to-deliver, di mana penjual akan memilih barang yang paling
murah yang akan diserahkan ke pembeli ketika delivery date telah tiba.
"...and
less-understood factor is the cheapest-to-deliver" option. At maturity,
the seller of the salam contract usually can choose from a limited
range of grades of the commodity, and naturally, he chooses the one is
that cheapest to deliver. Additionally, the seller typically has a small
amount of leeway in timing the delivery."[22] Menurut hemat penulis,
PBK memang tidak dapat dianalogkan dengan ba'i salam, meskipun dalam
beberapa aspek antara dua jenis transaksi di atas mempunyai banyak
kesamaan. Hal ini karena selain dua perbedaan yang telah disinggung
sebelumnya, alasan munculnya PBK adalah untuk lindung nilai dan
investasi (bahkan berkembang menjadi spekulasi). Lain halnya dengan ba'i
salam yang kemunculannya tidak dikait-kaitkan dengan hedging apalagi
spekulasi. Ba'i salam lebih banyak muncul, pada awalnya, karena
kesulitan dalam penyerahan barang saat transaksi disepakati. Berpijak
dari uraian sebelumnya, maka alangkah lebih cerdasnya jika kita tidak
perlu memaksakan bahwa PBK harus mengenakan "baju" ba'i
salam. Meskipun ada kesamaan, toh perbedaan antara keduanya juga tidak
dapat dipaksakan untuk "disamarkan." Akan lebih cerdas jika umat Islam
melakukan ijtihad dalam wilayah ini dengan melakukan serangkaian inovasi
untuk menemukan sebuah formulasi akad/transaksi yang memberikan
legalitas PBK dalam perspektif Islam. Ba'i salam adalah sebuah produk
sejarah yang mendapat konfirmasi dari dalil agama untuk ukuran saat itu.
Maka sekarang ini, ketika sejarah masih tetap berputar ia akan
menghasilkan "produk" lain yang baru; dan ini tugas bagi para sarjana
muslim untuk menyesuaikan produk baru tersebut dengan spirit agama,
tanpa harus memaksa produk tersebut dibungkus dengan sebuah nama yang
berasal dari beberapa abad sebelumnya.[23]Jika demikian, lalu landasan
syar'i seperti apakah yang "untuk
sementara" dapat dijandikan landasan untuk PBK? Seminar Nasional yang
bertemakan "PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DITINJAU DARI SEGI HUKUM
ISLAM" di UII Yogyakarta pada tahun 2001 merekomendasikan bahwa
Perdagangan Berjangka yang dikembangkan pada masyarakat
kontemporer/modern mendapat dukungan kaidah fiqih, utamanya dari sisi "istihsan"
dan atau "mashalihul mursalah", yaitu tuntutan kebutuhan ekonomi modern
(perdagangan) dan perlindungan para petani (masyarakat).[24]Agaknya
rekomendasi di atas memang patut untuk diapresiasi. Dalam istilah kami,
dari pada kesulitan untuk mengenakan "baju" ba'i salam, lebih baik
membuat baju baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan dengan tetap
berorientasi pada kemaslahatan. Dalam salah satu asas perikatan juga
dikenal asas kemaslahatan.[25] Dengan mengedepankan orientasi
kemaslahatan maka pihak-pihak yang melakukan transaksi terhindar dari
madharati dan masyaqqah.
2.4.3. Unsur spekulasi dalam PBK
Mungkin
kita masih familiar dengan pesan dari Bang Napi bahwa "kejahatan
terkadang muncul karena adanya kesempatan." Ini berarti bahwa pada
sebuah sistem atau mekanisme yang disusun untuk tujuan positif dan
kebaikan sekalipun, namun jika ada peluang untuk mendistorsi
mekanisme/sistem tersebut, pastilah akan ada individu-individu yang
mencoba untuk memanfaatkannya untuk tujuan yang negatif. Jika ada kasus
demikian, maka langkah yang semestinya diambil adalah memperbaiki
sistem/mekanisme sehingga peluang negatif dapat ditekan; sekaligus pada
saat yang bersamaan memberi punishment pada individu yang memanfaatkan
celah untuk tujuan yang negatif. Jadi, jika ada tikus di lumbung padi,
bukan lumbung padinya yang dibakar dan dimusnahkan, tetapi memasang
pagar untuk lumbung sekaligus menangkap tikusnya.Perumpamaan tersebut
agaknya refleksi dari keberadaan PBK, khususnya Futures dan Options yang
ditransaksikan di lantai bursa, yang seolah dilekati dengan unsur
spekulasi dan uncertainty/gharar. Pada dasarnya, keberadaan PBK adalah
untuk kemaslahatan pihak pemilik komoditi (penjual) dengan pihak yang
membutuhkannya (pembeli). Hedging dalam PBK sebenarnya tidak sebatas
kegiatan lindung nilai, namun melindungi kemaslahatan pihak penjual dan
pembeli. Sementara motif investasi dalam PBK adalah untuk memutar sektor
riil melalui pasar sekunder.Namun ternyata, motif spekulasi yang
dilakukan oleh para spekulan yang bermain dalam kontrak-kontrak PBK,
terutama Futures dan Options, terkadang justru menjadikan lantai bursa
ibarat sebuah kasino. Trade-mark spekulan adalah "ingin cepat kaya",
termasuk spekulan di PBK. Jika kelompok investor disebut dengan rational
speculation, maka para spekulan adalah blind speculation.[26]
Investor-investor buta tersebut menimbulkan gejala-gejala negatif di
lantai bursa, seperti short selling, perjudian, illegal trading,[27]
sampai dengan menyebar isu-isu ke publik yang dimaksudkan untuk
menggoreng harga komoditi di lantai bursa. Posisi mereka adalah membeli
saat harga murah, dan menjual kembali saat harga tinggi.Dapat dikatakan
bahwa perilaku-perilaku spekulatif di lantai bursa merupakan patologi
sosio-ekonomi sebagai imbas dari pola hidup hedonisme dan materialisme.
Keberadaan mereka bukan didasarkan dan ditujukan pada pergerakan
aktivitas perekonomian di sektor riil, namun semata hanya bagaimana
memperoleh keuntungan yang tinggi dengan melakukan serangkaian analisis.
Ambruknya nilai saham di bursa efek, sebagian besar bukanlah indikasi
melemahnya kinerja pengeluar emiten, namun disebabkan oleh tingkah laku
para spekulan. Kenneth Galbraith, menyebutkan bahwa resesi ekonomi tahun
1930-an merupakan akibat buruk dari "greedy speculators."[28] Mahatir
Muhammad beberapa tahun yang lalu juga melihat indikasi kuat bahwa
jatuhnya mata uang Asia juga sebagai ulah nakal para spekulan. Tidak
mudah memang untuk membedakan antara investor dan spekulan. Keduanya
sama-sama menggunakan berbagai sarana ilmiah, seperti teknologi,
informasi, analisis politik, ekonomi, dan sebagainya untuk menentukan
posisi yang akan mereka mainkan di lantai bursa. Meskipun ada yang
membedakan bahwa investor adalah sebuah game of skill sedangkan spekulan
adalah game of chance,[29] namun di lapangan perilaku mereka agak sulit
untuk dibedakan. Jika di bursa efek, true investor kemungkinan besar
akan membeli saham dengan margin 100% dengan long term; maka spekulan
tidak akan sampai mencapai angka 100% margin dan sering menimbulkan hot
money. Namun di bursa berjangka, baik true investor maupun spekulan
sama-sama hanya mendepositkan initial margin dan maintenance saja
sehingga tidak semudah membedakannya seperti di bursa efek.[30]Namun
demikian, ada beberapa implikasi positif yang muncul dari perilaku para
spekulan ini. Kata spekulan telah tercemar dan memperoleh konotasi
buruk. Padahal dalam teori ekonomi, spekulan mempunyai beberapa fungsi
positif. Di antara fungsi positif tersebut adalah kemampuannya untuk
menambah likuiditas di pasar. Ia secara sengaja maupun tidak sengaja
bertindak sebagai perantara penjual (short hedger) yang menginginkan
harga tinggi dengan pembeli (long hedger) yang ingin mendapatkan harga
serendah mungkin.[31] Selanjutnya, keberadaan spekulan memungkinkan
transfer resiko dari partisipan yang suka cari aman (risk averse) kepada
para spekulan yang berani menanggung resiko (risk lover).[32]Lalu
bagaimanakah dengan unsur uncertainty/gharar?[33] Banyak pihak agak
kesulitan untuk membuat garis demarkasi yang jelas antara uncertainty
dengan risk (ketidakjelasan dan resiko). PBK sebagai salah satu bentuk
bisnis adalah pengambilan risiko. Selain karena risiko memang selalu ada
dalam aktivitas ekonomi, ada pula prinsip dasar no risk, no return.
Oleh karenanya akan sangat complicated jika kemudian risiko diidentikkan
dengan uncertainty/gharar. Dengan demikian, jika ada risiko yang
harus ditanggung oleh pihak-pihak yang melakukan transaksi PBK maka
selama risiko tersebut adalah risiko bisnis maka konsekuensi logis
seperti itu dapat diterima. Namun jika risiko yang muncul adalah risiko
yang bersifat spekulatif dan mengandung gharar maka tidak bisa
dibenarkan dalam Islam. Pada dasarnya, pihak yang melakukan PBK justru
berupaya untuk meminimalisir terjadinya risiko bisnis di masa yang akan
datang. Petani cabai meminimalisir kerugian/risiko akibat anjloknya
hasil panenan pada musim panen mendatang imbas dari supply berlebihan.
Demikian pula produsen saos sambal, melalui PBK berusaha meredam
guncangan keuangan jika harga cabai melonjak. Lalu dimanakah letak
uncertainty/gharar dalam PBK? Gharar pada obyek akad atau komoditi
telah diminimalisir, baik pada sisi kualitas, jumlah, jenis, tempat
penyimpanan, lokasi penyerahan dan sebagainya. Ketika penjual misalnya,
ingin mengunci harga suatu komoditas lewat PBK sehingga harga barang
menjadi fix dan "certain", maka
proses untuk memastikan harga sebuah komoditi di masa depan yang itu
belum jelas merupakan proses uncertainty. Dengan kata lain, ia ingin
memastikan sebuah ketidakpastian sebagai salah satu bentuk manajemen
risiko. Langkah demikian pada dasarnya tidak menimbulkan permasalahan
selama mekanisme dan tujuan akhirnya adalah untuk menjaga kemaslahatan
semua pihak. Sementara itu ada catatan penting dalam kontrak Options,
karena pada kontrak ini nampak ada semacam "ketidakadilan" yang membuka
peluang untuk terjadinya zero-sum game. Ketika pemegang call options
tidak melakukan exercise ketika jatuh tempo karena harga komoditinya
ternyata lebih rendah, maka ia hanya akan mengalami risiko kerugian dari
premi opsi. Namun jika harganya lebih tinggi saat jatuh tempo, maka
keuntungan yang ia dapatkan akan berlipat ganda dari pada tingkat risiko
yang ia tanggung. Kondisi ini tentunya akan memicu individu untuk lebih
senang "bermain" dan pada jenis kontrak ini. Mental bisnis yang muncul
dari perhitungan di atas adalah mental gambling, yang jelas dilarang
dalam Islam.Salah satu asas perikatan dalam Islam adalah asas kejujuran
dan kebenaran. Suatu perikatan mempunyai nilai kebenaran jika perikatan
tersebut memberikan kemanfaatan bagi pihak yang melakukan perikatan dan
bagi masyarakat serta lingkungan. Demikian sebaliknya, perbuatan
muamalat yang justru mendatangkan madharat adalah dilarang.[36] Oleh
karenanya jika seseorang melakukan transaksi pada PBK dengan motif
semata mencari keuntungan secara spekulatif tanpa hirau pada sisi yang
lain maka dengan sendirinya menyalahi asas-asas perikatan dalam Islam.
Hal demikian juga berlaku tentang kejujuran di mana jika pelaku pasar
dalam PBK bersikap unfair, tidak transparan dan tidak jujur sehingga
menimbulkan ketidakpastian atau gharar maka hal ini juga tidak
dibenarkan dalam Islam.Pembahasan pada sub-bab ini menyimpulkan bahwa
tindakan spekulatif pada PBK, terutama di lantai bursa, merupakan
patologi sosio-ekonomi. Penyakit ini adalah penyakit mental, sehingga
sebagus apapun mekanisme dan tujuan PBK, namun jika penyakit ini belum
hilang dari masyarakat maka tindakan spekulatif masih dapat ditemui
dalam kontrak PBK. Maka, bukan lantai bursa atau PBK-nya yang
dihilangkan, tetapi memperbaiki mekanisme PBK.
2.4.4. PBK dan aktivitas perekonomian
Beberapa
waktu yang lalu,media massa baik cetak maupun elektronik memberitakan
demonstrasi para produsen tahu dan tempe yang mengadu dan menuntut
pemerintah, menyusul kenaikan harga kedelai impor yang mencapai angka
100%. Kenaikan harga kedelai ini mengakibatkan ribuan produsen
tahu-tempe gulung tikar; puluhan ribu buruh harus dirumahkan;
menghilangnya tahu-tempe (sebagai salah satu pemasuk protein terbesar)
dari pasaran. Coba kita berandai-andai, jika saja 3 bulan yang lalu para
produsen tahu-tempe mengadakan PBK dengan para petani kedelai luar
negeri untuk penyerahan bulan ini, maka tidak akan ada pabrik tahu-tempe
yang tutup; buruh tahu-tempe tetap bekerja dan ketersediaan bahan
protein tidak hilang dari pasaran. Demikian pula sebaliknya, kedelai
milik petani di luar negeri tetap terserap di Indonesia tanpa terganggu
oleh jalur transportasi, distribusi maupun kebijakan lain.[37]Ilustrasi
singkat di atas menunjukkan bahwa PBK banyak mendatangkan kemaslahatan
bagi masyarakat, tidak saja dalam wilayah ekonomi namun juga pada
wilayah sosial. Contoh kasus di atas adalah gambaran bahwa petani
kedelai dan produsen tahu-tempe belum disatukan dalam sebuah kekuatan
supply-demand. Mereka masih dipisahkan oleh hambatan-hambatan yang
muncul dari perdagangan antarnegara. Futures dalam PBK juga akan
mendorong standarisasi dan peningkatan kualitas produk. Suatu komoditi
hanya bisa diperdagangkan di lantai bursa jika memenuhi berbagai
kriteria menyangkut kualitas, proses uji mutu, tempat penyerahan,
kualitas storage dan masih banyak kriteria yang lain.[38] Persyaratan
ini memberikan rasa aman dan jaminan bagi pihak-pihak (terutama pemegang
long position) bahwa ia akan mendapatkan komoditi yang telah ditentukan
spesifikasinya di awal transaksi. Pihak penjual tidak seenaknya
mengubah spek barang yang akan diserahkan secara fisik kepada pembeli,
demikian pula sebaliknya ia pun juga akan mendapatkan jaminan bahwa
hasil produksinya akan dibeli pada harga yang telah disepakati.Selain
itu, PBK juga menghasilkan pembentukan harga (price discovery) yang
transparan, fair dan kompetitif. Dengan hadirnya Bursa Berjangka yang
memperdagangkan kontrak berbagai macam komoditas, terbentuklah harga
secara efisien dan transparan yang dapat diakses secara luas, termasuk
oleh para petani. Atas dasar informasi tersebut, petani dapat
mengendalikan usahanya dan memutuskan akan menanam atau tidak. Dan
apabila diputuskan untuk menanam atau memproduksi, dapat diperkirakan
berapa banyak harus diproduksi, apakah sesuai dengan kapasitas produksi
yang tersedia atau dikurangi, tergantung pada tren harga yang terjadi di
bursa.[39]Dengan demikian dapat ditarik benang merah bahwa menilik pada
aktivitas perekonomian modern, PBK menjadi salah satu jenis transaksi
perdagangan yang dibutuhkan oleh banyak pihak. Selain sebagai media
lindung nilai dan investasi, transaksi PBK nampaknya secara tidak
langsung menjadi media untuk menjamin ketersediaan suatu komoditas di
pasaran sehingga keseimbangan pasar dapat terjaga. Di samping itu, jika
lantai bursa benar-benar sebuah representasi kondisi sektor riil, maka
lantai bursa berjangka juga dapat dijadikan sebagai barometer kegairahan
ekonomi suatu negara. Volume perdagangan, tingkat pergerakan votalitas
komoditi, proses price discovery dan beberapa komponen lain dalam proses
transaksi di lantai bursa akan menjadi barometer yang bisa jadi lebih
terpercaya dan qualified jika dibandingkan dengan harga saham. Mengapa?
Karena lantai bursa berjangka merefleksikan sektor riil bukan sekedar
sebuah bayangan seperti pada harga saham.
2.4.5. Initial dan maintenance margin
Lantai
bursa untuk PBK memang mirip dengan bursa efek. Istilah-istilah dan
mekanisme yang digunakan juga nyaris sama, kecuali beberapa perbedaan
yang telah diutarakan sebelumnya. Jika apa yang dihasilkan dari bursa
efek adalah indikator moneter, maka harga suatu komoditi di lantai bursa
berjangka yang terbentuk karena demand dan supply juga 'sulit untuk
dibedakan' dengan harga saham/valas/suku bunga yang terbentuk dari bursa
efek. Lalu, apakah lantai bursa berjangka bisa diposisikan sebagai
instrumen moneter?Pertanyaan di atas muncul tidak lepas dari keberadaan
initial margin dan maintenance margin di lantai bursa. Ingat bahwa modal
yang diperlukan dalam PBK rata-rata hanya 5% s.d 20% dari nilai kontrak
yang disepakati. Ini artinya bahwa untuk 'membeli' satu lot kontrak
dengan harga Rp 10.000.000,- misalnya, maka modal yang diperlukan untuk
membelinya tidak lebih dari Rp 2.000.000,-, atau bahkan bisa jadi kurang
dari angka tersebut. Dari hal ini, maka dengan uang Rp 20.000.000,-
seseorang bisa membeli kontrak senilai Rp 100.000.000,-. Kegelisahan
yang muncul kemudian adalah jika mekanisme initial margin dan
maintenance margin ini memicu terjadinya money illusion, bubble economy,
capital in-flow yang bersifat hot money . Ini belum termasuk 'ancaman'
jika seseorang lebih suka untuk terjun di lantai bursa dari pada terjun
langsung di sektor riil hanya karena motif profit semata. Hal inilah
yang bisa jadi mengubah motif seseorang, dari motif investor menjadi
motif seorang spekulan.Ancaman lain yang tidak kalah seriusnya adalah
jika proses price discovery bukan lagi cerminan murni kekuatan pasar di
sektor riil, melainkan telah terkontaminasi dengan aksi-aksi spekulan
yang berupaya mengeruk keuntungan dari posisi yang ia miliki. Tidak
menutup kemungkinan jika seorang spekulan akan mengubah kondisi pasar
dari posisi pasar backwardation menjadi pasar at premium atau pasar
contango,[40] dengan cara membeli suatu komoditas sebanyak-banyaknya
sehingga harga Future menjadi tinggi. Selain initial margin dan
maintenance margin, mekanisme dalam Options juga memicu kekhawatiran
yang sama. Premi dari opsi merupakan satu-satunya risiko yang akan
ditanggung peserta jika ia mengalami kerugian, sementara keuntungan yang
ia peroleh dari risiko tersebut sangat besar. Berikut ilustrasi yang
mungkin akan memperjelas bahwa dalam Options potensi untuk investasi di
sektor riil kurang menjanjikan dibanding dalam Options:Harga satu lot
kontrak kedelai seharga Rp 1.000.000/ton. Untuk harga sebesar itu, Anda
cukup membayar premi dari opsi yang besarannya sekitar Rp 100.000 per
satu lot kontrak. Jika Anda mempunyai uang sebesar Rp 1.000.000 maka
Anda dapat membeli 10 lot kontrak dengan total nilai Rp 10.000.000. Pada
tanggal jatuh tempo, harga menjadi Rp 1.100.000/ton, maka dapat Anda
hitung bahwa keuntungan yang diperoleh sebesar 100%. Sementara risiko
yang Anda tanggung hanya sebesar 10%-nya saja. Persoalannya bukan saja
pada nominal risiko dan keuntungan yang tidak sebanding, namun mekanisme
Options dengan premi dari opsi-nya, menstimulus individu untuk lebih
suka mempertaruhkan dana yang ia miliki dengan pengharapan keuntungan
yang luar biasa besar dengan cukup 'duduk di depan meja sambil menunggui
laptop.'Jika demikian yang terjadi, maka harga yang terbentuk bukanlah
cerminan dari pergerakan kekuatan permintaan dan penawaran komoditi
tersebut di sektor riil. Jika pun ada investasi yang ditanamkan dalam
posisi beli, tidak berpengaruh nyata di sektor riil. Oleh karenanya
price discovery tidak lagi transparan, kompetitif dan tidak dapat
dijadikan sebagai referensi dalam kalkulasi bisnis. Ini merupakan salah
satu efek negatif lantai bursa jika ia diposisikan sebagai salah satu
instrumen moneter.Memposisikan lantai bursa berjangka sebagai instrumen
moneter pada dasarnya tidak menimbulkan persoalan dalam perpektif
Ekonomi Islam. Namun perlu diperhatikan bahwa sektor moneter dalam
Ekonomi Islam bukanlah sebagai variabel bebas. Pertumbuhan moneter dalam
sistem Ekonomi Islam selalu didasarkan pada kondisi riil. Sektor
moneter tidaklah independen terhadap perubahan-perubahan di sektor riil.
Keduanya berintegrasi dalam satu kesatuan, sektor riil akan menentukan
berapa level keseimbangan di sektor moneter, namun bukan berarti
pergerakan di sektor rill disebabkan oleh sektor moneter.[41]Sehubungan
dengan hal tersebut maka untuk "mensyari'ahkan" PBK, khususnya yang
dilakukan di lantai bursa, diperlukan serangkaian regulasi ketat yang
mempunyai kekuatan untuk meminimalisir beberapa contoh deviasi di atas.
Regulasi tersebut tentunya harus berorientasi kepada kemaslahatan tanpa
meninggalkan unsur kemudahan dalam bertransaksi sehingga PBK tetap
diminati banyak pihak. Pada posisi inilah, dengan meminjam istilah
hukum, para cendekiawan dan ekonomi muslim diharapkan mampu melakukan
rechtsvinding atau ijtihad ekonomi sehingga umat tidak merasa gelisah
untuk terjun di lantai bursa berjangka. Sebagaimana yang disinggung oleh
Vogel dan Hayes bahwa untuk menyusun instrumen keuangan Islami,
termasuk salah satunya adalah PBK, diperlukan konsepsi, aturan dan
doktrin yang terkait dengan pembentukan instrumen keuangan di pasar
keuangan publik. Lebih lanjut, Vogel dan Hayes juga optimis bahwa jika
persoalan-persoalan dalam instrumen keuangan dan derivatif dapat
diselesaikan baik dalam dataran teori dan prakteknya, maka keuangan
Islam akan mampu melepaskan diri dari keterbatasannya dan mampu
berkompetisi secara efektif dengan sistem keuangan konvensional.[42]
2.4.6. Catatan akhir
Keberadaan
PBK beserta mekanisme yang mengikutinya merupakan sebuah keniscayaan
dalam dinamisnya perkembangan peradaban manusia. Transaksi modern tidak
dapat dilepaskan dari PBK. Terkait dengan hal tersebut, maka Islam
sebagai way of life dan rahmatan lil 'alamin, sudah pada posisinya untuk
memberikan 'sikap' dan konfirmasi atas legalitas PBK. Hanya saja memang
proses konfirmasi dan justifikasi atas kebolehan PBK harus tetap pada
framework yang ada dalam Islam.Framework yang dapat digunakan untuk
melihat PBK adalah maslahah yang tidak dapat dilepaskan dari maqashid
syari'ah. Implikasinya adalah, apapun yang dilakukan oleh umat dalam
wilayah mu'amalat, selagi itu mengandung maslahat dan tidak menimbulkan
efek negatif (madhorot) maka Islam, dalam hal ini hukum dagang Islam,
'wajib' untuk memberikan justifikasi dan legalitasnya. Langkah ini sudah
semestinya diikuti dengan menyusun sebuah mekanisme PBK yang tidak
menimbulkan deviasi terhadap aturan syar'i dan kemaslahatan.Jika memang
ba'i salam, urbun, ash-shulh dan ji'alah tidak dapat dijadikan sandaran
untuk memberikan legalitas PBK, maka para mujtahid Ekonomi Islam
dihadapkan pada sebuah lahan ijtihadi bagaimana "mensyari'ahkan" PBK. Diantara beberapa poin yang perlu diperhatikan dalam proses tersebut antara lain:
1.
Menumbuhkan jiwa entrepreneuraship bagi semua kalangan yang terlibat
dalam PBK. Mengembangkan mental kewirausahaan ini kami pandang sebagai
entry behaviour, sebelum para pihak masuk dalam PBK. Hal ini setidaknya
untuk meminimalisir berkembangnya mental-mental spekulatif yang dapat
merusak dan mendistorsi PBK.
2.
Obyek yang ditransaksikan dalam PBK hendaknya adalah komoditi riil,
bukan sekedar jual-beli kontrak perjanjian. Hal ini sebagai upaya agar
PBK memang memegang peranan dalam pertumbuhan ekonomi di sektor riil
yang selalu bergerak lurus dengan pergerakan di sektor riil. Dari hal
ini maka harga dan tingkat penawaran-permintaan di lantai bursa adalah
refleksi sesungguhnya dari sektor riil, bukan sekedar bayangan.
3. Beberapa mekanisme PBK di lantai bursa perlu diselaraskan dengan aturan-aturan syar'i,
dengan menggunakan prinsip sad adz-dzari'ah. Prinsip tersebut perlu
digunakan sebagai pagar atau barrier to entry bagi para pihak yang hanya
bermodalkan spekulasi saja ketika masuk di lantai bursa PBK.
4. Yang
terakhir namun tidak kalah pentingnya adalah bagaimana mendidik umat
agar mereka berorientasikan maslahah dalam setiap aktivitas perekonomian
mereka, sehingga tidak mudah untuk tergoda melakukan perilaku negatif
ketika peluang untuk melakukannya terbuka. Sebagus apapun mekanisme PBK,
namun jika masih ada penyakit mental (atau patologi sosio-ekonomi
seperti yang telah kami singgung sebelumnya), maka jika ada sedikit
celah dalam mekanisme PBK tersebut maka akan dimanfaatkan untuk
kepentingan-kepentingan yang tidak semestinya.
3. PENUTUP
Benang merah yang dapat ditarik dari pembahasan singkat di atas adalah sebagai berikut:
1.
Motif munculnya PBK adalah sebagai manajemen risiko, di mana pemegang
posisi jual mendapatkan jaminan bahwa komoditi yang ia hasilkan dapat
terserap di pasar; sedangkan pemegang posisi beli mendapatkan jaminan
ketersediaan komoditi yang ia butuhkan di pasar.
2.
Jenis kontrak dalam PBK antara lain Forward, Future dan Options. Dua
jenis kontrak yang disebutkan terakhir dilakukan di lantai bursa. Di
Indonesia, PBK baru mulai 'berdiri' pada tahun 2000 yang ditandai dengan
adanya Bursa Berjangka Jakarta (BBJ),
3.
Dalam perspektif Ekonomi Islam, PBK memang menjadi salah satu instrumen
perdagangan yang cukup penting dalam aktivitas perekonomian.
4. Beberapa catatan yang terkait dengan PBK dalam perspektif Fiqh Muamalat (Ekonomi Islam) antara lain:
a. Obyek akad dalam PBK tidak mengandung unsur gharar, karena obyek yang ditransaksikan telah terstandarisasi;
b.
Praktek spekulatif di lantai bursa berjangka merupakan patologi
sosio-ekonomi, sehingga bukan merupakan dalih untuk 'mengharamkan' PBK
di lantai bursa;
c. PBK tidak dapat dianalogikan dengan ba'i salam karena ada beberapa unsur yang membedakan antara keduanya;
d.
Dasar hukum PBK adalah istihsan dan maslahah mursalah. Namun demikian
perlu mengkonstruksi formula baru untuk melegalkan PBK dalam perspektif
Islam.
e.
Mekanisme Futures dengan initial dan maintenance margin-nya serta
Option dengan premi dari opsinya, masih menyisakan kekhawatiran
munculnya gap yang besar antara sektor riil dan moneter yang berdampak
terjadinya deviasi terhadap mekanisme PBK di lantai bursa.
Referensi :
Achsien,
Iggi H., Investasi Syariah di Pasar Modal, Jakarta: Gramedia,
2000.Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syari'ah: Studi tentang Teori Akad
dalam Fikih Muamalat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007Basyir, Azhar
Basyir, Asas-asas Hukum Mu'amalat, Yogyakarta: Fak. Hukum UII,
1993.Karim, Adiwarman A., Ekonomi Makro Islami, Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2007.Dewi, Gemala dkk., Hukum Perikatan Islam di
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.Hasan, Husein Hamid, Nazariah
al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, Kairo: Dar an-Nahdah al-Arabiyah,
1971.Huda, Nurul & Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar
Modal Syari'ah, Jakarta: Kencana, 2007.Kamali, Muhammad Hashim, Islamic
Commercial Law, Selangor: IIUM, 2003.Muhammad, Dasar-dasar Keuangan
Islami, Yogyakarta: Ekonisia, 2004.al-Mushlih, Abdullah, & Shalah
ash-Shawi, Macam-macam Transaksi Bursa Efek, dalam www.halalguide.info,
diakses 1 November 2007.NN, "Manfaat Perdagangan Berjangka bagi Petani,"
dalam Buletin PERDAGANGAN BERJANGKA, Oktober 2001.-, "Kontrak Berjangka
Komoditi, Apa Itu?" dalam Buletin PERDAGANGAN BERJANGKA, Oktober
2001.-, "Membenam Keraguan Umat Islam," dalam Buletin PERDAGANGAN
BERJANGKA, Oktober 2001.Sembel, Roy & Tedy Ferdiansyah, Sekuritas
Derivatif: Madu atau Racun?, Jakarta: Salemba Empat, 2002.Praja, Juhaya
S., "Ijtihad untuk Perdagangan Berjangka," dalam Buletin PERDAGANGAN
BERJANGKA, Oktober 2001.Vogel, Frank E. dan Samuel L. Hayes, Islamic Law
and Finance: Religion, Risk and Return, Cambride: The Kluwer Law
International, 1998.Zaid, Mustafa, Al-Maslahah fi at-Tasyri' al-Islami
wa Najmuddin at-Tufi, Beirut: Dar al-Fikr, 1954.Rayner,S.E., The Theory
of Contracts in Islamic Law, London: Graham & Trotman,
1991.Salehabadi, Ali dan Mumamad Aram "Islamic Justification of
Derivative Instruments," dalam International Journal of Islamic
Financial Services, Vol. 4, No. 3, 2001as-Sanhuri, Mashadir al-Haq fi
al-Fiqh al-Islami, ttp.: Liga Arab, 1956.Wijaya, Johannes Ariffin, Bursa
Berjangka , Yogyakarta: Andi Offset, 2002.
Catatan Kaki:
[1] Johannes Ariffin Wijaya, Bursa Berjangka (Yogyakarta: Andi Offset, 2002), h. i
[2]
Kehadiran bursa, secara tidak langsung, juga dapat memotivasi atau
mengarahkan para petani untuk menghasilkan komoditas yang mutunya sesuai
dengan standar komoditas yang diperdagangkan di bursa untuk mendapatkan
harga yang baik. Mutu komoditas yang semakin baik memungkinkan pihak
pengelola gudang menyimpan dan memberikan jaminan keamanan, dan
terpeliharanya mutu komoditas tersebut dengan baik dalam jangka waktu
yang relatif panjang. "Manfaat Perdagangan Berjangka bagi Petani," dalam
Buletin PERDAGANGAN BERJANGKA, Oktober 2001.
[3] Johannes Ariffin Wijaya, Bursa Berjangka., h. 2.
[4]
Pada tahun 1900, Futures Market mengalami peningkatan yang sangat
pesat. Selain CBOT, bursa-bursa yang lain juga bermunculan, seperti
Chicago Mercantile Exchange, The New York Cotton Exchange, The New York
Sugar Exchange, dan sebagainya. Untuk selengkapnya lihat Johannes
Ariffin Wijaya, Bursa Berjangka., h. 2-4.
[5] Roy Sembel & Tedy Ferdiansyah, Sekuritas Derivatif: Madu atau Racun? (Jakarta: Salemba Empat, 2002), h. 14.
[6] Ibid., h. 16.
[7]
Semakin tinggi tingkat volatilitas suatu komoditi maka initial margin
yang harus dibayar oleh pembeli/penjual juga semakin tinggi. Gejolak
harga komoditi tersebut juga turut mempengaruhi initial margin.
[8] "Kontrak Berjangka Komoditi, Apa Itu?" dalam Buletin PERDAGANGAN BERJANGKA, Oktober 2001.
[9] Roy Sembel & Tedy Ferdiansyah, Sekuritas Derivatif., h. 59.
[10]
Selengkapnya lihat dalam Muhammad Hashim Kamali, Islamic Commercial Law
(Selangor: IIUM, 2003). Secara umum buku ini dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu pertama tentang deskripsi dan operasionalisasi perdagangan
dan pasar Futures; kedua, menjelaskan tentang kebolehan Futures dalam
Islam; ketiga, dikhususkan untuk membahas kontrak Options.
[11] Juhaya S. Praja, "Ijtihad untuk Perdagangan Berjangka," dalam Buletin PERDAGANGAN BERJANGKA, Oktober 2001.
[12]
Untuk bahasan lebih terperinci lihat dalam Mustafa Zaid, Al-Maslahah fi
at-Tasyri' al-Islami wa Najmuddin at-Tufi, (Beirut: Dar al-Fikr,
1954),hlm 127-132 dan Husein Hamid Hasan, Nazariah al-Maslahah fi
al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Dar an-Nahdah al-Arabiyah, 1971), hlm. 529.
[13]
Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2006), h. 60. Baca juga Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian
Syari'ah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2007), h. 193-196.
[14]
Nurul Huda & Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal
Syari'ah (Jakarta: Kencana, 2007), h. 32-38. Dalam fikih mu'amalat,
obyek akad harus merupakan barang yang ada nilainya, barang legal, dapat
dimanfaatkan, dapat diperjualbelikan, serta tidak bertentangan dengan
syara' dan ketertiban moral. S.E. Rayner, The Theory of Contracts in
Islamic Law (London: Graham & Trotman, 1991), h. 131.
[15] as-Sanhuri, Mashadir al-Haq fi al-Fiqh al-Islami (ttp.: Liga Arab, 1956), juz III: 36.
[16]
Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance: Religion,
Risk and Return (Cambride: The Kluwer Law International, 1998).
[17] Iggi H. Achsien, Investasi Syariah di Pasar Modal (Jakarta: Gramedia, 2000), h. 71.
[18]
"Membenam Keraguan Umat Islam," dalam Buletin PERDAGANGAN BERJANGKA,
Oktober 2001. Lihat juga Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Mu'amalat
(Yogyakarta: Fak. Hukum UII, 1993), h. 51.
[19]
Menurut Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, kontrak salam adalah
kontrak dalam Islam yang paling mendekati dengan kontrak Forward. Frank
E. Vogel dan Samuel L. Hayes, Islamic Law., h. 223.
[20]
Sebagaimana yang diakui oleh Roy Sembel dan Teddy Ferdiansyah bahwa
pada kenyataannya sangat sedikit sekali futures contract yang diakhiri
dengan penyerahan fisik asetnya saat kontrak jatuh tempo. Roy Sembel
& Tedy Ferdiansyah, Sekuritas Derivatif., h. 17.
[21]
Bahkan menurut Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi dalam pasar
bursa, untuk beberapa kasus tertentu barang transaksi dijual beberapa
kali penjualan saat dalam kepemilikan penjual pertama. Tujuannya tidak
lain hanyalah tetap memegang barang itu atau menjualnya dengan harga
maksimal kepada para pembeli dan pedagang lain bukan secara sungguhan,
secara spekulatif melihat untung rugi-nya. Persis seperti perjudian.
Padahal dalam jual beli as-Salam tidak boleh menjual barang sebelum
diterima. Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, Macam-macam
Transaksi Bursa Efek, dalam www.halalguide.info, diakses 1 November
2007.
[22] Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, Islamic Law., h. 223.
[23]
Untuk kontrak futures, ada juga yang mengaitkannya dengan akad as-shulh
dan ji'alah. Namun demikian tampaknya upaya ini kurang populer di
kalangan akademisi sehingga tidak banyak disinggung ketika mencari
sandaran hukum PBK. Lihat Ali Salehabadi dan Mumamad Aram "Islamic
Justification of Derivative Instruments," dalam International Journal of
Islamic Financial Services, Vol. 4, No. 3, 2001.
[24]
Seminar tersebut juga merekomendasikan bahwa Perdagangan Berjangka
Komoditi tidak mengandung hal-hal yang bertentangan atau dilarang oleh
Syariat, karena; Perdagangan berjangka adalah resmi (legal), mempunyai
aturan yang jelas dalam peraturan-perundangan; Perdagangan berjangka
tidak mengandung spekulasi (dalam arti untung-untungan), tetapi justeru
dengan lindung nilai (hedging) dan pembentukan harga (price discovery)
memberikan perlindungan kepada para petani-produsen; Perdagangan
berjangka memiliki fungsi sosial-ekonomi, yaitu perlindungan kepentingan
dan kesejahteraan masyarakat, berbeda dengan perjudian atau gambling,
mengandung unsur untung-untungan dengan resiko yang tinggi serta tidak
memiliki fungsi ekonomi bagi kesejahteraan/kemaslahatan masyarakat
secara umum.
[25] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian., h. 90.
[26] Nurul Huda & Mustafa Edwin Nasution, Investasi., h. 77.
[27]
Di antara perdagangan dalam PBK yang dilarang antara lain: Bucketing:
Bucketing terjadi manakala pialang mengambil posisi di balik posisi
amanat nasabah yang dilaksanakannya, baik untuk rekening pialang itu
sendiri maupun pihak lain. Treading a Head of Customer: Pialang
melaksanakan transaksi atas kepentingan dirinya sendiri dan
mengesampingkan amanat nasabah. Matching Order: Pialang mempertemukan
(match) amanat jual dari satu nasabah dengan amanat beli dari nasabah
lain dengan mekanisme di luar yang ditentukan oleh bursa. With Holding
Order: Pialang tidak dibenarkan untuk menunda ataupun mendahulukan suatu
amanat yang tidak sesuai dengan urutannya. Disclosing Order: Anggota
bursa tidak diperbolehkan untuk membuka atau memberitahukan amanat
nasabah yang ditransaksikannya kepada pihk lain. Wash Trading: Wash
trading adalah transaksi yang menampilkan penjualan dan pembelian yang
seolah telah terjadi akan tetapi kenyataannya yang bersangkutan tidak
melakukan satu posisi apapun di pasar. Churning: Churning adalah
perdagangan yang berlebihan, baik dalam jumlah atau frekuensi. Biasanya
berupa transaksi churning yang dilakukan pada rekening bebas
(discetionary account).
[28] Iggi H. Achsien, Investasi Syariah., h. 63.
[29]
Konsep ini dimunculkan oleh al-Suwailem. Menurutnya risiko ada dua
macam, yaitu risiko pasif yang disebutnya dengan game of chance yang
hanya mengandalkan keberuntungan. Sedangkan yang kedua adalah risiko
responsif atau game of skill, yang memungkinkan adanya distribusi
probabilitas hasil keluaran dengan kausalitas yang logis. Ibid., h. 51.
[30]
Baca juga perbedaan antara keuntungan investasi versus keuntungan
spekulatif dalam Muhammad, Dasar-dasar Keuangan Islami (Yogyakarta:
Ekonisia, 2004), h. 163-164.
[31]
Mempertemukan kedua hedgers ini sangatlah sulit. Pada posisi inilah
spekulan memainkan peranan yang sangat penting dalam mempertemukan kedua
penawaran ini, sehingga pasar bisa lebih memiliki likuiditas. Johannes
Ariffin Wijaya, Bursa Berjangka., h. 24.
[32] Roy Sembel & Tedy Ferdiansyah, Sekuritas Derivatif., h. 142.
[33]
Kata gharar secara etimologi bermakna kekhawatiran atau risiko, dan
gharar dapat pula diartikan menghadapi kerugian dan kebinasaan.
Sedangkan taghrir berarti mengikutkan diri sendiri dalam suatu kerugian.
Jika dikatakan jual-beli gharar, itu berarti jual-beli tersebut
mengandung ketidakpastian dan ketidaktahuan, baik pada diri subyek
maupun obyek.
[34]
Risks adalah kejadian yang memiliki preseden historis dan dapat
diestimasi probabilita. Structural uncertainties adalah kemungkinan
terjadinya suatu hasil yang bersifat unik, tidak memiliki preseden namun
dapat dijelaskan dalam pola kausalitas. Unknowables ialah kejadian yang
secara ekstrim kemunculannya tidak terbayangkan sebelumnya. Sebagaimana
yang dikutip Iggi H. Achsien, Investasi Syariah., h. 51.
[35] Dikutip dari Nurul Huda & Mustafa Edwin Nasution, Investasi., h. 79.
[36] Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan., h. 37.
[37]
Hampir 60% kebutuhan kedelai Indonesia didatangkan dari Amerika. Ketika
Amerika mengalihkan pertanian kedelai menjadi jagung untuk kepentingan
bio-fuell, maka pasokan kedelai Amerika ke Indonesia berkurang sehingga
menjadikan harga komoditi ini melambung tinggi. Naiknya harga ini juga
disinyalir adanya permainan harga sebagai imbas adanya kartel dalam
impor kedelai.
[38] Johannes Ariffin Wijaya, Bursa Berjangka., h. 7.
[39]
Mungkin petani-petani kita yang berada di gunung-gunung yang jauh dari
bisingnya perkotaan, tidak pernah membayangkan dan tidak pernah
menyadari bahwa mereka telah berada pada suatu era yang mengharuskannya
bersaing secara bebas dengan petani-petani dari negara lain, termasuk
petani-petani dari negara-negara maju. Para petani dalam artian luas,
yaitu yang bergerak di bidang tanaman pangan, perkebunan, perikanan dan
peternakan ini, secara bertahap harus diberdayakan dan diperkenalkan
dengan berbagai instrumen modern seperti perbankan, asuransi, dan
berbagai instrumen risiko berupa perdagangan berjangka. Lihat dalam
"Manfaat Perdagangan Berjangka Komoditi untuk Petani," dalam Buletin
PERDAGANGAN BERJANGKA, Oktober 2001.
[40]
Pasar backwardation atau pasar tidak normal adalah jika harga Future
lebih rendah dari pada harga pasar spot, sedangkan pasar at premium atau
contango adalah apabila harga Future lebih tinggi dari pada harga di
pasar spot.
[41] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islami (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007), h. 209.
[42] Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, Islamic Law., h. 292.
From : Tri Seputra
Source : dari beberapa sumber